Topik Education, Career, Love or Marriage? ini sangat 'hot' di kalangan pertemanan perempuan, apalagi jika:
- Jenjang usia telah memasuki kategori awal 20-an
- Gelar sarjana sudah di ambang mata/tahun akhir perkuliahan
- (Apalagi jika) telah memiliki pasangan
Obrolan tentang topik ini tidak akan berhenti kecuali dibatasi oleh waktu dan kesibukan, yang nantinya jika datang kesempatan lagi pasti akan kembali dibahas. Tidak hanya tentang rencana yang diinginkan, tapi juga dilema maupun kegalauan akan memilih yang mana, atau kegalauan karena tidak memiliki pilihan apapun. Apakah dilema ini juga dialami oleh para lelaki? Saya pun tidak tahu, karena sering kali topik ini diangkat oleh pihak perempuan.
Postingan kali ini akan saya bagi menjadi dua part agar pembaca paham latar belakang penulisan dan keadaan lingkungan saya pada part pertama, agar tiada pandangan bahwa saya kecentilan, kebelet nikah, dan hanya memikirkan tentang pernikahan saja, dan part kedua tentang isu yang terjadi serta pandangan saya.
Berbeda dengan di Indonesia, menikah pada usia muda merupakan hal biasa di negara yang kini saya tempati, Malaysia. Salah satu sahabat saya menikah pada umur 19 tahun, sahabat lainnya menikah pada umur 23 tahun dan teman sekelas saya baru saja menikah bulan lalu. Melihat dari pada sistem pendidikan, saya merasa wajar bagi teman-teman berkewarganegaraan Malaysia untuk menikah dimana mereka masih menduduki bangku Perguruan Tinggi, hal yang tidak lazim bagi kita, Indonesians.
Berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia, setelah menamatkan Pendidikan Menengah (setara SMA di Indonesia), mereka tidak boleh langsung masuk ke Perguruan Tinggi. Untuk memasuki Perguruan Tinggi, mereka harus mengikuti Pendidikan Pra-Universiti seperti STPM, O-Level atau sejenis, sehingga mereka masuk ke universitas pada usia 21 tahun. Kebanyakan akan menikah ketika telah menduduki tahun kedua atau ketiga perkuliahan dimana usia mereka adalah 22 atau 23 tahun tetapi masih duduk di jenjang S1. Karena umur ini jugalah, teman-teman Malaysian saya sangat iri ketika mereka mengetahui saya masuk universitas pada usia 17 tahun dan akan lulus pada usia 22 tahun.
Galau menikahpun semakin tinggi karena universitas yang saya duduki giat mempromosikan menikah muda, yang saya rasa adalah cara preventif agar mahasiswanya tidak pacaran dan malah tersandung zina. IIUM Grand Wedding pun dilaksanakan agar menikah menjadi hal yang affordable. Kabarnya juga, pihak kampus akan memberikan tunjangan jika kedua pasangan yang akan menikah merupakan mahasiswa kampus ini. Tertarik? Pernikahan kedua sahabat Malaysian saya juga tergolong sederhana, tidak ada rangkaian adat seperti di Indonesia, akad nikah dan resepsi dilangsungkan dalam satu hari dan tidak sampai malam, sehingga tiada pergantian pakaian dan bahkan tanpa resepsi, hanya makan-makan setelah akad nikah di mesjid (lokasi mesjidnya pun adalah mesjid kampus).
Jika tersandung biaya namun tetap ingin melangsungkan perhelatan mewah dan besar-besaranpun, tidak jarang yang memilih untuk mengambil pinjaman dari bank. Pinjaman dari bank? Serius. Entah saya yang tidak tahu, tetapi ketika tinggal di sinilah saya mengetahui bahwa pinjaman bank untuk pernikahan itu ada dan peminatnya pun banyak.
Proses lazimnya di Indonesia adalah: tamat SMA - kuliah S1 - bekerja - menikah. Sementara di lingkungan saya, prosesnya menjadi tamat SMA - Pre-university - kuliah s1 sambil menikah - (jika pihak perempuan menginginkan,) kerja. Satu persatu teman pun mulai dikhitbah, undangan mulai disebar dan semakin banyak yang galau kok jodohnya nggak dateng-dateng, kenapa sang pacar kok nggak bahas-bahas pernikahan padahal wisuda semakin dekat. Saya sih nggak. Belum lagi memutuskan setelah wisuda mau kerja dulu atau lanjut S2. Sampailah ke pertanyaan Education, Career, Love, or Marriage?
Bersambung ke Part Dua! :)
No comments:
Post a Comment
Would be really happy to hear your thoughts. Do comment! ;)