Sudah 10 menit, laman new text pada tumblr di layar laptop saya terbuka dengan tab-tab lain berisikan laman facebook, twitter dan kompas.com menemani. Sejak tadi malam setelah menonton The Nanny Diaries, tangan saya memang sudah ‘gatal’ ingin menulis. Entah writer block atau apa, ketika new text pada tumblr ini terbuka saya malah bingung mau menulis apa.
Sesuai judul, pagi ini saya akan berbicara sedikit tentang tujuan. Vision. Goal. Berada di masa perkuliahan dan asrama, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-teman di pesantren dahulunya (kurang beberapa peraturan yang tidak seketat di pesantren). Berada pada satu kampus, satu kelas, bertemu dalam 24 jam sehari benar-benar membuat kita tidak bisa bohong tentang siapapun kita, bagaimana sifat, kebiasaan dan watak masing-masing.
Saya memang terkadang heran. Kenapa kok ada yang pintar, tetapi malah masuk IIUM (saya hanya waktu itu belum tahu kehebatan kampus sendiri *lol*), bukan universitas terkemuka di negeri sendiri. Kenapa kok dia pandai, tetapi malah mendem di pesantren, bukannya masuk ke sekolah negeri yang notabene favorit dan lulusannya mudah masuk ke universitas top di Indonesia. Keheranan saya bertambah ketika ada yang tidak menyukai hal-hal yang menurut saya bagus untuk perkembangan diri, contohnya, mengikuti organisasi, clubs, atau konferensi-konferensi internasional, atau yang sedang tren di pelajar kota asal saya, pertukaran pelajar ke luar negeri.
Untuk kita, memang memiliki beberapa standar ‘sukses’. Semalam teman saya bercerita “wah, kakak itu udah bener-bener sukses banget ya dia sekarang.” mengingat bahwa sang kakak diterima menjadi salah satu representative untuk mahasiswa internasional di Student Representative Council, semacam BEM kalau di Indonesia. Standar sukses yang ia gunakan di sini ialah aktif di berbagai organisasi. Sedangkan saat rapat program kerja bersama PPI Malaysia, nama senior IPS saya di SMA secara ajaib disebut oleh salah satu pengurus, dielu-elukan sebagai salah satu pembicara di salah satu program PPI Malaysia. Memang, beliau sudah keliling dunia dan bersama organisasinya, namanya sudah terkenal di kalangan pelajar-pelajar aktif Indonesia.
Standar kesuksesan inilah yang terkadang membuat kita menjadi sempit. Loh, kenapa? Karena, terkadang, orang yang tidak mencapai kesuksesan seperti apa yang kita standar-kan, cenderung tidak kita anggap sukses. Saya baru tahu, teman-teman saya yang pintar ini tidak masuk ke sekolah negeri, yang dapat menjamin masuk ke universitas terkemuka, bukan karena mereka tidak pintar tetapi mereka memiliki prioritas yang berbeda. Mereka memilih masuk ke pesantren, dimana hari-hari mereka diisi dengan bukan hanya ilmu dunia, tetapi jauh ke depannya, akhirat.
Saya baru tahu, tidak semua orang menyukai berorganisasi. Birokrasi, administrasi, rapat berjam-jam, bahkan mama saya sendiri tidak betah berada 10 menit saja di ruang rapat, dan keheranan bisa-bisanya anaknya baru pulang sekolah jam 7 malam karena rapat evaluasi OSIS, pada umur kurang dari 17 tahun saat SMA. Beberapa orang mungkin tidak terlalu obsesi mendapatkan CGPA 4, tidak seperti teman saya yang dari pagi sampai malam belajar demi mendapatkan nilai sempurna. Bukan karena malas, orang-orang ini tetap berusaha semaksimal mungkin tetapi tidak seobsesi itu. Beberapa orang tidak akan memilih jurusan ekonomi, tetapi jurusan anthropology, karena mereka minat mereka. Beberapa orang tidak akan masuk ke fakultas kedokteran ataupun teknik (termasuk saya), karena saya memang tidak pernah punya bayangan akan menjadi dokter atau masuk teknik karena minat saya benar-benar 0 pada bidang tersebut.
Salah mereka? tidak. Mungkin apabila saya tetap kekeuh ingin kuliah di komunikasi Universitas Padjadjaran saya bakal stressed out. Saya suka menulis, saya pernah bercita-cita menerbitkan majalah bersama teman sekelas saya, tetapi untuk profesi sepertinya tidak. Mama sayalah yang paling tahu, anaknya ini sejak kecil sudah kelihatan bibit-bibit bisnisnya haha.
Setiap manusia lahir dengan keunikan-keunikan mereka sendiri, dan untuk memukul rata standar kita dengan orang lain sepertinya memang terlalu naif. Baik untuk kita, belum tentu baik untuk orang lain. Sukses menurut kita, mungkin juga bukan sukses bagi orang lain. Yang terpenting kenali diri, bakat dan potensi. Berkelanalah, coba setiap hal baru dan kesempatan sekecil apapun, maksimalkan apa yang ada dalam diri, tidak menyerah dan ingat, Dia selalu ada bersama orang yang mengingat-Nya.
Sesuai judul, pagi ini saya akan berbicara sedikit tentang tujuan. Vision. Goal. Berada di masa perkuliahan dan asrama, mungkin tidak jauh berbeda dengan teman-teman di pesantren dahulunya (kurang beberapa peraturan yang tidak seketat di pesantren). Berada pada satu kampus, satu kelas, bertemu dalam 24 jam sehari benar-benar membuat kita tidak bisa bohong tentang siapapun kita, bagaimana sifat, kebiasaan dan watak masing-masing.
Saya memang terkadang heran. Kenapa kok ada yang pintar, tetapi malah masuk IIUM (saya hanya waktu itu belum tahu kehebatan kampus sendiri *lol*), bukan universitas terkemuka di negeri sendiri. Kenapa kok dia pandai, tetapi malah mendem di pesantren, bukannya masuk ke sekolah negeri yang notabene favorit dan lulusannya mudah masuk ke universitas top di Indonesia. Keheranan saya bertambah ketika ada yang tidak menyukai hal-hal yang menurut saya bagus untuk perkembangan diri, contohnya, mengikuti organisasi, clubs, atau konferensi-konferensi internasional, atau yang sedang tren di pelajar kota asal saya, pertukaran pelajar ke luar negeri.
Untuk kita, memang memiliki beberapa standar ‘sukses’. Semalam teman saya bercerita “wah, kakak itu udah bener-bener sukses banget ya dia sekarang.” mengingat bahwa sang kakak diterima menjadi salah satu representative untuk mahasiswa internasional di Student Representative Council, semacam BEM kalau di Indonesia. Standar sukses yang ia gunakan di sini ialah aktif di berbagai organisasi. Sedangkan saat rapat program kerja bersama PPI Malaysia, nama senior IPS saya di SMA secara ajaib disebut oleh salah satu pengurus, dielu-elukan sebagai salah satu pembicara di salah satu program PPI Malaysia. Memang, beliau sudah keliling dunia dan bersama organisasinya, namanya sudah terkenal di kalangan pelajar-pelajar aktif Indonesia.
Standar kesuksesan inilah yang terkadang membuat kita menjadi sempit. Loh, kenapa? Karena, terkadang, orang yang tidak mencapai kesuksesan seperti apa yang kita standar-kan, cenderung tidak kita anggap sukses. Saya baru tahu, teman-teman saya yang pintar ini tidak masuk ke sekolah negeri, yang dapat menjamin masuk ke universitas terkemuka, bukan karena mereka tidak pintar tetapi mereka memiliki prioritas yang berbeda. Mereka memilih masuk ke pesantren, dimana hari-hari mereka diisi dengan bukan hanya ilmu dunia, tetapi jauh ke depannya, akhirat.
Saya baru tahu, tidak semua orang menyukai berorganisasi. Birokrasi, administrasi, rapat berjam-jam, bahkan mama saya sendiri tidak betah berada 10 menit saja di ruang rapat, dan keheranan bisa-bisanya anaknya baru pulang sekolah jam 7 malam karena rapat evaluasi OSIS, pada umur kurang dari 17 tahun saat SMA. Beberapa orang mungkin tidak terlalu obsesi mendapatkan CGPA 4, tidak seperti teman saya yang dari pagi sampai malam belajar demi mendapatkan nilai sempurna. Bukan karena malas, orang-orang ini tetap berusaha semaksimal mungkin tetapi tidak seobsesi itu. Beberapa orang tidak akan memilih jurusan ekonomi, tetapi jurusan anthropology, karena mereka minat mereka. Beberapa orang tidak akan masuk ke fakultas kedokteran ataupun teknik (termasuk saya), karena saya memang tidak pernah punya bayangan akan menjadi dokter atau masuk teknik karena minat saya benar-benar 0 pada bidang tersebut.
Salah mereka? tidak. Mungkin apabila saya tetap kekeuh ingin kuliah di komunikasi Universitas Padjadjaran saya bakal stressed out. Saya suka menulis, saya pernah bercita-cita menerbitkan majalah bersama teman sekelas saya, tetapi untuk profesi sepertinya tidak. Mama sayalah yang paling tahu, anaknya ini sejak kecil sudah kelihatan bibit-bibit bisnisnya haha.
Setiap manusia lahir dengan keunikan-keunikan mereka sendiri, dan untuk memukul rata standar kita dengan orang lain sepertinya memang terlalu naif. Baik untuk kita, belum tentu baik untuk orang lain. Sukses menurut kita, mungkin juga bukan sukses bagi orang lain. Yang terpenting kenali diri, bakat dan potensi. Berkelanalah, coba setiap hal baru dan kesempatan sekecil apapun, maksimalkan apa yang ada dalam diri, tidak menyerah dan ingat, Dia selalu ada bersama orang yang mengingat-Nya.